![]() |
Saksi ahli memberikan keterangannya di PN Medan. (foto : mimbar/ded) |
MEDAN, (MIMBAR) - Permohonan praperadilan diajukan Murachman terhadap Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Cq Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Kapolda Sumut) Cq Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sumut, kembali dilanjutkan di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (13/4/2023) lalu.
Agenda sidang tersebut mendengarkan keterangan saksi ahli yang diajukan pemohon Murachman. Saksi ahli Dr Khomaini, SE, menegaskan, dalam sidang tersebut penetapan tersangka bertentangan dengan asas ne bis in idem.
“Dalam konteks perkara yang sama orangnya, locus dan tempusnya sama, maka menurut ahli kasus tersebut tidak bisa disidik kembali, terkecuali terdapat perbedaan orang, dan locus tempus yang berbeda,” kata saksi dalam ruang sidang Cakra VII PN Medan.
Saksi ahli juga menyatakan, pada sidang dipimpin hakim tunggal tersebut, dalam menganulir alat bukti yang dipergunakan untuk penetapan tersangka, tentu saja bisa ditafsirkan tindakan penyidik tidak hati-hati dalam menilai alat bukti yang dipergunakan dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, atau bisa juga ditafsirkan sebagai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penyidik.
Namun demikian, SP3 dalam konteks tidak cukup bukti dapat juga dikatakan sebagai tindak korektif yang dilakukan penyidik atas penetapan Tersangka pada diri seseorang. Tindakan korektif ini harusnya secepatnya dilakukan agar hak-hak tersangka tidak dirugikan. Jika tindakan korektif tidak segera dilakukan, sangat mungkin terjadi tersangka mengajukan permohonan praperadilan karena tidak cukupnya alat bukti dalam hal penetapan tersangka.
“Namun yang menjadi permasalahan sekarang terhadap penyidikan kembali berdasarkan ditemukannya alasan baru adalah, apabila dilihat dari redaksi Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) (Formulir P-14) ini, terhadap penghentian Penyidikan dan penyidikan kembali merujuk pada Pasal 109 Ayat (2) KUHAP. Dalam pasal tersebut tidak ada diatur bahwa Penghentian Penyidikan dituangkan dalam Surat Ketetapan dan juga tidak menyebutkan bahwa Penyidikan dapat dibuka kembali dengan alasan baru," ujar saksi ahli yang juga dosen Pasca Sarjana Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia (UPMI) kepada wartawan, Ahad (16/4/2023).
“Indonesia menganut Asas Dualistis, yaitu suatu pandangan yang memisahakan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dimana unsur utama dari pertanggungjawaban hanyalah unsur kesalahan, dan kesalahan bukanlah sebagai salah satu unsur dari tindak pidana ini. Artinya pertanggungjawaban pidana harus dibuktikan terlebih dahulu perbuatan pidananya,” ungkapnya.
Selain itu, saksi ahli juga mengatakan, ketentuan yang terdapat dalam Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP dan tata Urutan Perundang-Undangan, dimana Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan yang lebih tinggi sesuai dengan “Asas Lex Superior derogate legi inferiori".
Sebelumya, dalam permohonan praperadilan Nomor 29/pid.pra/2023/PN.Medan disebutkan Murachman (ic. Terlapor) adalah bagian dari Rokani dkk yang sebelumnya sebagai para penggugat melawan PT Perkebunan Nusantara II (dahulu PTP IX) selaku tergugat I, Pemerintah Republik Indonesia Cq. Menteri dalam Negeri Cq. Gubernur Sumatera Utara Cq. Bupati Deli Serdang selaku Tergugat II, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di Jakarta Cq Kepala Kantor Wilayah Pertanahan Sumatera Utara Cq. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang selaku Tergugat III, kemudian Putus dan dibacakan pada tanggal Jumat, 19 September 2011 yang pada intinya dimenangkan oleh Rokani dkk sesuai dalam perkara Gugatan Perdata No. 05/Pdt.G/2011/PN.Lbp. Jo. 437/Pdt/2011/PT.Mdn tertanggal 13 Maret 2012, Jo. No. 39 K/Pdt/2013 tertanggal 15 Agustus 2013, Jo. 508 PK/Pdt/2015 tertanggal 18 Februari 2016 yang saat ini kesemuanya telah berkekuatan hukum tetap. (04)